“Robot Wall-E” ntah mengapa saya tertarik untuk mengulas cerita dalam film robot ini secara representatif. Setelah sekian lama melanglang buana akhirnya saya kembali lagi dengan hal-hal menarik dari dunia film. Saya pernah mengutip kata-kata dari sebuah film yang saya tonton sebelumnya, yaitu: “Semua hal bisa terjadi di dalam film, termasuk apa yang tidak bisa kita lakukan dalam kehidupan nyata.” Menakjubkan, bukan?
Di era yang semakin maju dan cepat ini, saya sangat menyukai media sosial yang membuat saya harus terus menggulir layar setiap hari. Melihat berita, candaan, dan cerita orang-orang di media sosial memang menyenangkan. Namun, saya berpikir dua kali untuk menghabiskan waktu di depan layar setelah menonton film ini. Film yang hanya diperankan oleh robot dan tidak banyak dialog ini ternyata menyimpan banyak sekali makna kehidupan mengenai kecanggihan teknologi serta masa depan bumi dan isinya.
Layak Mendapatkan Penghargaan Film Terbaik
Wall-E adalah sebuah robot tua yang tinggal sendirian di tengah bumi yang sudah tidak layak huni. Semua manusia telah berpindah ke luar angkasa dalam pesawat yang serba otomatis. Pada tahun 2300-an, bumi terlihat sangat tidak layak dihuni oleh makhluk hidup. Warnanya cokelat, gedung-gedung terbengkalai, dan terdapat banyak sekali sampah mulai dari kaleng, plastik, hingga reruntuhan. Laut dipenuhi minyak, badai debu dahsyat terjadi, tanah gersang, tidak ada pepohonan, apalagi air. Melihatnya saja seperti daratan Jupiter semua berwarna cokelat, tertutup debu, dan terasa sangat sesak jika saya bayangkan berdiri di sana.
Saya yakin bahwa penyebab utama mengapa bumi berubah seperti itu adalah ulah manusia. Ya! Penghuninya sendiri. Sungguh miris.
Dikutip dari Wikipedia, film animasi Amerika ini dirilis pada tahun 2008 dan disutradarai oleh Andrew Stanton. Film Wall-E memenangkan 47 penghargaan dan memperoleh 82 nominasi. Wow! Angka yang sangat luar biasa. Berkat kemahiran sang sutradara, Wall-E langsung menduduki peringkat pertama di box office pada hari pertama perilisannya. Film ini juga mendapat sambutan luar biasa dengan rating mencapai 96%. Kritikus film Amerika, Peter Travers, mengatakan, “Jika ada film animasi yang bisa masuk ke dalam nominasi film terbaik, Wall-E layak mendapatkannya.”
Prediksi Masa Depan Bumi yang Dihantarkan oleh Wall-E
Dari penjelasan spektakuler yang saya kutip dari Wikipedia mengenai keberhasilan film Wall-E, saya juga setuju bahwa film ini sangat layak ditonton oleh semua umur. Bagaimana tidak? Isu yang diangkat sangat relevan dengan permasalahan yang sedang terjadi belakangan ini.
Film Wall-e robot ini menyampaikan bahwa kerusakan bumi disebabkan oleh penghuninya sendiri. Semakin canggih teknologi dan semakin cepatnya segala sesuatu, manusia justru semakin lupa dengan kesehatan lingkungan mereka. Menurut artikel berjudul The Future of Earth System Prediction: Advances in Model-Data Fusion yang ditulis oleh Andrew Gattelman, Alan J. Geer, Richard M. Forbes, dan rekan-rekannya, prediksi tentang bumi dapat dilakukan dengan mengamati atmosfer, daratan, lautan, lapisan es, serta unsur kimianya. Pengamatan ini dilakukan dengan bantuan satelit, stasiun permukaan, pengukuran dari pesawat komersial, data sistem pemanas dan pendingin rumah, sensor kualitas udara, dan banyak lagi.
Adanya prediksi masa depan bumi yang dilakukan oleh ilmuwan melalui berbagai metode tersebut menunjukkan bahwa kita bisa siap siaga terhadap kondisi bumi di masa depan jika kita mulai bertindak sekarang.
Dalam film Wall-E, diceritakan bahwa ada penumpukan sampah besar-besaran yang tidak bisa dikendalikan. Oleh karena itu, perusahaan besar bernama Buy N Large (BnL) yang menguasai seluruh aspek kehidupan di bumi mencetuskan ide untuk memindahkan seluruh manusia ke luar angkasa. Awalnya, mereka hanya berencana tinggal di Axiom kapal luar angkasa yang mereka tempati selama lima tahun. Kapal ini dilengkapi dengan robot otomatis yang memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, karena kadar racun di bumi yang terlalu tinggi, semua robot pembersih sampah akhirnya tidak dapat beroperasi kecuali satu, yaitu Wall-E (Waste Allocation Load Lifter: Earth Class), meskipun kondisinya juga sudah tidak baik.
Untuk mengetahui apakah bumi masih layak huni, Axiom meluncurkan robot pendeteksi tanaman hijau bernama EVE (Extraterrestrial Vegetation Evaluator). Singkat cerita, Wall-E dan EVE saling jatuh cinta. Unik, bukan? Saling jatuh cinta tetapi antara sesama robot.
Karena kadar racun di bumi yang sangat tinggi, manusia-manusia di Axiom memilih tetap tinggal di kapal otomatis itu dan melupakan krisis yang terjadi di bumi mereka.
Yang lebih miris lagi, manusia dalam pesawat Axiom selama berabad-abad menjadi gemuk dan hanya duduk di depan layar transparan. Makanan mereka berbentuk sari yang siap diminum. Tidak ada orang yang berjalan, semuanya menggunakan kursi otomatis yang bisa memenuhi segala kebutuhan mereka. Tidak ada yang bersentuhan, tidak ada yang berbicara langsung satu sama lain, bahkan mereka pun tidak tahu apa yang ada di luar jendela pesawat Axiom.
Singkat cerita, Wall-E secara tidak sengaja menemukan sebuah tanaman kecil dan berusaha memberitahukan kepada EVE. Dari sinilah petualangan mereka dimulai. Peran Wall-E dalam film ini adalah untuk menyadarkan manusia-manusia di Axiom.
Makna Mendalam yang Harus Diresapi oleh Umat Manusia
Saya tidak menyangka bahwa film yang minim dialog ini menyimpan pesan yang begitu mendalam sekaligus menjadi tamparan bagi kita semua: bumi harus tetap dijaga, meskipun kita telah memiliki teknologi yang sangat canggih. Selain itu, ketergantungan terhadap gawai berdampak negatif bagi generasi mendatang. Bagaimana tidak? Dengan segala sesuatu yang serba otomatis, manusia akan semakin malas bergerak.
Saya sering mengeluhkan sakit badan tanpa sebab ketika melakukan aktivitas fisik yang tergolong ringan. Ini disebabkan oleh kurangnya olahraga, jarangnya bergerak, dan kebiasaan bermalas-malasan yang membuat otot menjadi kaku. Akibatnya, bisa dilihat seperti dalam film Wall-E semua orang menjadi gemuk dan tidak bisa berjalan. Tidak heran jika rata-rata orang Indonesia mengalami kenaikan berat badan saat usia lanjut akibat kurangnya aktivitas fisik. Pada akhirnya, kondisi ini dapat meningkatkan risiko hipertensi, obesitas, stroke, dan penyakit mematikan seperti gagal jantung.
Film Wall-E menjadi tamparan bagi saya setelah menontonnya. Saya berharap para pembaca juga dapat merenungkan makna dari film ini. Jika manusia hanya sibuk dengan teknologi canggih tanpa peduli terhadap lingkungan, dampaknya akan sangat buruk bagi bumi. Peduli terhadap lingkungan bisa dimulai dari diri kita sendiri.
Saya yakin Wall-E diciptakan berdasarkan permasalahan bumi yang sedang marak terjadi. Sobat Tilas pasti juga merasakan bahwa belakangan ini cuaca menjadi semakin ekstrem dan tidak menentu, gletser di kutub mencair, beberapa spesies hewan punah, pencemaran lingkungan meningkat, populasi manusia melonjak, dan suhu bumi terus naik. Meskipun dampaknya mungkin tidak langsung terasa, masalah ini akan terus berlanjut jika tidak segera ditangani.
Film ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Padahal, jika dipikirkan, untuk apa kita menghancurkan tempat tinggal kita sendiri? Think twice.
Tinggalkan Balasan