Syair Tob Tobi Tab kini layaknya parasit yang menjangkit para remaja. Mereka terkadang membuat konten apa pun, terutama konten menghibur, di media sosial Instagram kemudian memasukkan lirik dari syair tersebut. Fenomena ini cukup menarik, bahkan berbagai media tulis turut membahas tentang syair tersebut serta membahas pencipta syairnya yaitu bernama Al-Asma’i. Viralnya syair tersebut setidaknya mengedukasi umat Muslim di Indonesia agar lebih perhatian terhadap fenomena ini.
Selain Al-Asma’i, ada pula seorang penyair sekaligus pejabat di Kota Granada. Ia menciptakan banyak syair yang sangat indah. Kemampuannya dalam menulis prosa dan puisi tidak perlu diragukan lagi. Salah satu karyanya yang telah dinyanyikan berjudul “En Al-Andalus”. Bait puisi dari karya puisi tersebut adalah sebagai berikut:
في لَيالٍ كَتَمَت سِرَّ الهَوى *بِالدُّجى لَولا شُموسُ الغُرَرِ *مالَ نَجمُ الكأسِ فيها وهَوى *مُستَقيمَ السَّيرِ سَعدَ الأثَر *حِين لَذَّ النَومُ شَيئاً أو كَما *هَجَمَ الصُّبحُ هُجُومَ الحَرَسِ *غَارتِ الشُهبُ بِنا أو رُبَّماَ *أثَّرَت فِينَا عُيونُ النَّرجِسِ *في لَيالٍ كَتَمَت سِرَّ الهَو *بِالدُّجى لَولا شُموسُ الغُرَرِ *مالَ نَجمُ الكأسِ فيها وهَو *مُستَقيمَ السَّيرِ سَعدَ الأثَرِ *حِين لَذَّ النَومُ شَيئاً أو كَم *هَجَمَ الصُّبحُ هُجُومَ الحَر*غَارتِ الشُهبُ بِنا أو رُبَّماَ *أثَّرَت فينا عُيونُ النَّرجِسِ
Terjemahan dari syair adalah:
Pada malam-malam yang menyembunyikan rahasia cinta
Di tengah kegelapan, jika bukan karena mentari yang bersinar
Bintang cawan pun condong dan jatuh
Meski jalannya lurus, jejaknya tetap beruntung
Ketika tidur terasa nikmat, atau seolah-olah
Fajar menyerang seperti serbuan penjaga
Bintang-bintang pun menghilang dari pandangan, atau mungkin
Mata bunga narsis telah memberikan pengaruh pada kami
Gubahan syair ini menunjukkan betapa indahnya Kota Granada yang penuh dengan keindahan, kemesraan, bahkan menyimbolkan kehidupan umat Islam yang sejahtera dan damai. Namun Kota Granada yang dimaksud telah hilang, kejayaan dan kemegahannya tidak akan pernah terulang lagi.
Biografi Lisanuddin Ibnu al-Khatib
Lisān al-Dīn Ibn al-Khāṭīb (1313–1374/1375 M) merupakan seorang cendekiawan, sejarawan, penyair, dan negarawan terkemuka dari Granada pada masa Dinasti Naṣrid. Tempat lahirnya berada di Loja, Andalusia, dalam keluarga terpelajar. Ia memutuskan untuk terjun masuk ke dunia politik setelah kematian ayahnya dalam Pertempuran Río Salado (1340). Sebagai seorang intelektual yang serba bisa, ia dikenal karena kontribusinya dalam berbagai bidang ilmu, termasuk sejarah, sastra, kedokteran, sufisme, dan filsafat.
Ia dan sang Sultan (Sultan Abū al-Ḥajjāj Yūsuf bin Ismāʿīl) usianya tidak berbanding jauh sehingga mereka memiliki hubungan dekat, dan ia menjadi salah satu orang kepercayaan penguasa muda tersebut. Namun, pada saat itu ia masih berada di bawah arahan administratif dan teknis Wazir Abū al-Ḥasan ʿAlī b. al-Jayyāb
Ibn al-Khāṭīb pernah menjabat sebagai sekretaris kerajaan dan kemudian sebagai kātib al-inshāʾ (kepala kanselari kerajaan) di bawah pemerintahan Sultan Yūsuf I dan putranya, Muhammad V. Keahliannya dalam administrasi dan diplomasi menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam politik Granada. Ia juga dikenal dengan gelar Dhū al-Wizāratayn (“pemegang dua jabatan wazir”) karena perannya yang mencakup urusan politik dan budaya.
Tidak diragukan lagi akan kemampuannya dalam menulis yang cukup produktif, ia menghasilkan berbagai karya dalam bentuk prosa dan puisi, termasuk kitab sejarah Al-Iḥāṭa fī Akhbār Gharnāṭa dan risalah filsafat serta mistisisme Islam. Dalam bidang sastra, ia menulis banyak qaṣīda yang memuji Nabi Muhammad (madīḥ nabawī), beberapa di antaranya termasuk dalam sub genre mawlidiyyāt, yang dirancang khusus untuk perayaan Maulid Nabi.
Namun, kehidupan politiknya yang penuh intrik membawanya ke pengasingan dan akhirnya ke kematiannya yang tragis. Setelah diasingkan ke Maghrib, ia ditangkap atas tuduhan konspirasi dan dihukum mati di dalam penjara di Fez pada tahun 1374 atau 1375. Meskipun mengalami akhir yang tragis, warisannya dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan politik tetap dikenang sebagai salah satu tokoh paling cemerlang dalam sejarah Islam di Andalusia.
Lisanuddin al-Khatib mengekspresikan dirinya akan kerinduan kepada sang Nabi dengan menulis sebagai seorang peziarah yang baru saja meninggalkan tempat suci di Mekkah dan makam Nabi di Madinah, serta mengungkapkan cintanya kepada Nabi (wa qalbī bi-ḥubbi-ka maʿmūr wa-maʾhūl). Ia juga meluapkan rasa sesalnya karena meninggalkan makam suci dan menggambarkan kerinduannya yang mendalam (laḥiqanī min al-asaf li-buʿdi mazāri-ka).
BACA JUGA:
Sang Sufi Syed Ali Imadeddin Nasimi Pendobrak Syair Sufistik
Penulis secara langsung memanggil Nabi (fa-lā tansā lī yā rasūl Allāh), sebagai tempat berlindung dan tempat memohon pertolongan. Ia juga menggambarkan hasratnya untuk segera kembali mengunjungi makam tersebut agar bisa mendapatkan shafāʿa (syafaat) dari Nabi pada Hari Kiamat. Ibn al-Jadd kemudian berdoa kepada Allah agar memudahkan jalannya kembali ke Tanah Suci dan memberinya kesempatan untuk kembali mengunjungi makam Nabi, sehingga ia bisa mendapatkan keberkahan syafaatnya pada Hari Kiamat.
Keruntuhan Granada
Kehancuran umat Muslim di Granada, Andalusia, sangat menyedihkan. Mereka mengalami ancaman dengan diberi dua pilihan, murtad atau dibunuh. Sangat disayangkan bahwa dua pelaku utama genosida terhadap Muslim Andalusia, yaitu para penguasa Katolik, justru dimuliakan oleh Vatikan
Tetapi, Granada bukanlah kota Muslim pertama yang jatuh ke tangan pasukan Kristen. Sejak abad ke-11 dan ke-12, berbagai kota Islam lainnya telah jatuh, seperti Toledo (1085 M) dan Saragosa (1118 M), menyebabkan banyak Muslim berada di bawah kendali Kristen. Meskipun mereka mengalami berbagai bentuk penganiayaan, mereka masih diizinkan untuk mempertahankan keyakinan Islam mereka.
Muslim yang berada di bawah kekuasaan Kristen ini disebut sebagai Mudejar. Mereka memiliki masjid, madrasah, serta para fuqahāʾ. Mereka bahkan mengembangkan literatur dalam bahasa Spanyol yang ditulis dengan aksara Arab, yang disebut Aljamiado. Pada awal abad ke-16, seperempat populasi wilayah Aragon (dengan ibu kota Saragosa) dan sepertiga populasi di Pais Valenciano (dengan ibu kota Valencia) masih merupakan Muslim.
BACA JUGA:
Untungnya Kita Punya Danarto: Sastrawan Sufistik yang Nyentrik
Salah satu kebodohan terbesar Boabdil adalah ketidakmampuannya dalam menyatukan kaum Muslimin di Granada. Ia terlibat dalam konflik internal dengan ayahnya, Sultan Abu al-Hasan Ali, dan pamannya, Muhammad XIII (az-Zaghal), yang memperlemah posisi Muslim di hadapan pasukan Katolik. Alih-alih berfokus pada ancaman eksternal dari Ferdinand dan Isabella, Boabdil justru mengobarkan perang saudara yang melemahkan pertahanan Granada.
Selain itu, Boabdil dengan mudah terperdaya oleh politik tipu daya Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Kastilia dan Aragon. Setelah tertangkap dalam pertempuran tahun 1483, ia dibebaskan dengan syarat menjadi vasal Kastilia, mengakibatkan keretakan pada tubuh umat Muslim. Ketika Granada akhirnya dikepung selama delapan bulan, Boabdil memilih untuk menyerah dengan syarat yang sebenarnya menguntungkan Muslim, tetapi kemudian dikhianati oleh pihak Kristen.
Keputusan Boabdil untuk menyerahkan Alhambra tanpa perlawanan habis-habisan dianggap merupakan bagian pengecut. Bahkan ibunya, Aisha al-Hurra, dengan sinis mengatakan kepadanya, “Jangan menangis seperti wanita atas apa yang tidak mampu kau pertahankan seperti laki-laki.” Setelah kejatuhan Granada, Boabdil diasingkan ke wilayah pegunungan Alpujarras sebelum akhirnya pergi ke Afrika Utara, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya dan ditelan sejarah kelam.
Tinggalkan Balasan