Dari Kekunoan Hingga Kekinian

Seno Gumira dan Sepotong Senjanya

Avatar Dafid Ibrahim
seno Gumira

Seno mulai menulis sejak usia 17 tahun, awalnya sebagai anggota Teater Alam di bawah pimpinan Azwar A.N. Karya pertamanya berupa puisi dimuat di majalah Aktuil (Merdeka.com)

Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, Amerika Serikat, pada 19 Juni 1958. Ayahnya, Prof. Dr. M.S.A Sastroamidjojo, adalah seorang guru besar di Fakultas MIPA UGM, sedangkan ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit dalam. Meski berasal dari keluarga akademisi di bidang sains, Seno memilih jalannya sendiri di dunia sastra dan humaniora.

Setelah lulus SMP, Seno Gumira Ajidarma sempat nggak mau sekolah lagi karena terinspirasi dari film “Old Shatterhand” tentang petualangan suku Apache. Ia pun nekat merantau ke Jawa Barat dan Sumatera selama tiga bulan, bahkan sempat jadi buruh pabrik kerupuk di Medan.

Tapi akhirnya, karena kehabisan uang, ia terpaksa pulang ke Yogyakarta setelah ibunya mengirimkan tiket. Seno kemudian melanjutkan sekolah di SMA Santo Thomas yang terkenal dengan kebebasannyaโ€”cocok dengan karakternya yang nggak suka aturan ketat.

Seno mulai menulis sejak usia 17 tahun, awalnya sebagai anggota Teater Alam di bawah pimpinan Azwar A.N. Karya pertamanya berupa puisi dimuat di majalah Aktuil. Setelah itu, ia mulai menulis cerpen dan esai. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1977 sebagai kontributor lepas di Harian Merdeka. Ia lalu menjabat sebagai pimpinan redaksi Sinema Indonesia, redaktur mingguan Zaman, dan bekerja di majalah Jakarta-Jakarta sampai majalah itu tutup pada 1992.

Setelah Jakarta-Jakarta berhenti terbit, Seno fokus menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Sinematografi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lulus pada 1994. Ia kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia pada 2007. Selain menulis dan menjadi kritikus, Seno juga mengajar Penulisan Kreatif dan Kritik Film di IKJ.

Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa lain, seperti “Saksi Mata” yang diterjemahkan menjadi “Eye Witness” dan “Negeri Kabut” yang menjadi “The Land of Mists”. Beberapa cerpennya juga diadaptasi menjadi film dan drama televisi. Sepanjang kariernya, Seno menerima banyak penghargaan, seperti South East Asia Write Award (1997), Chatulistiwa Literary Award (2005), dan Ahmad Bakrie Award (2012), meskipun yang terakhir ia tolak.

Proses Kreatif yang menginspirasi

Menulis bagi Seno bukan sekadar menciptakan cerita, tapi juga bagian dari perjalanan menemukan diri sendiri. Ia memulai proses kreatifnya sejak tahun 1975 dengan bergabung di Teater Alam. Awalnya menulis puisi, lalu beralih ke cerpen dan esai. Karyanya sering kali penuh fantasi dan imajinasi liar, menggabungkan tradisi lokal dan budaya asing dengan gaya khasnya.

Saat menulis, Seno benar-benar mendalami topik yang ingin diangkat. Ia bisa melakukan wawancara berkali-kali untuk mendapatkan sudut pandang yang unik. Dalam menciptakan cerpen, ia membiarkan ceritanya berkembang dengan sendirinya tanpa tahu persis bagaimana akhirnya. Setelah selesai menulis, ia melakukan revisi berkali-kali sampai benar-benar puas.

Salah satu ciri khas Seno adalah cara ia membebaskan pembaca untuk menafsirkan ceritanya sendiri. Ia tidak selalu memberikan kesimpulan yang jelas, sehingga pembaca bisa merasakan dan memahami ceritanya dengan cara mereka sendiri.

Karya Fenomenal

Banyak karya Seno Gumira Ajidarma yang populer, salah satunya “Sepotong Senja Untuk Pacarku”. Buku ini pertama kali terbit tahun 1991, tapi semakin dikenal setelah diterbitkan ulang pada 2022. Buku ini berisi kumpulan cerita yang berpusat pada tema senja, cinta, dan perjalanan hidup.

Novel ini menarik perhatian Gen Z karena isinya yang relate dengan kisah cinta dan pencarian makna hidup. Versi terbarunya dikemas dengan cara unikโ€”ada potongan surat di dalamnya yang bisa diisi pembaca dan dikirimkan ke orang terkasih. Selain alur ceritanya yang romantis dan sedikit absurd, buku ini juga punya pesan mendalam tentang perjuangan dan keteguhan hati.

Seno dikenal sebagai penulis dengan gaya bercerita yang khasโ€”kadang filosofis, kadang nyeleneh, tapi tetap menyentuh. Karya-karyanya nggak hanya menghibur, tapi juga mengajak pembaca berpikir lebih dalam tentang kehidupan.

Avatar Dafid Ibrahim

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *




Subscribe to our newsletter